Aspek pendidikan
adalah aspek terpenting dalam membentuk karakter bangsa. Dengan
mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat potret bangsa yang
sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa depan
seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi
bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya.
Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter
bangsa dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk
elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam
otoritas pelaksana pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor
utama yang harus diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia
untuk pendidikan, faktor kelaikan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan
yang mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini
terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter
nasional yang mampu bersaing di era global, yang akhirnya dapat
mengembalikan jati diri bangsa.
Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik sebetulnya hanya
ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak didik yang
diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan apa
yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi
menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya,
seperti afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik.
Karena institusi pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik
menerapkan apa yang diajari, karena sesungguhnya itulah kegunaan dari
ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di bangsa ini hanya akan menjadi
‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa toleransi dan apatis pada
kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti ini dapat
mengembalikan jati diri bangsa?
Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas pendidikan di
negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari institusi
pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan ilmu
dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi
untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik
dengan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil
menghasilkan generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi
bangsa.
Mungkin memang nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan
memuaskan, akan tetapi ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu
yang mereka dapatkan apa gunanya ilmu yang mereka punya? Otoritas
pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh
lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to
know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri
sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to
live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini
akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi
seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi
ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang
didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan
jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.
Banyaknya faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan karakter ini
menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah usaha
yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang
baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak
Faktor atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam
risalah ini akan dilihat peran tiga media yang saya yakini sangat besar
pengaruhnya yaitu: keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan
pendidikan formal.
Keluarga adalah komunitas pertama di mana manusia, sejak usia dini,
belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah.
Dengan kata lain, di keluargalah seseorang, sejak dia sadar
lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai yang
diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah
proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan
menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang
lebih dewasa, memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti
kejujuran, kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia
melihat dunia sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama
dengan dia –berbeda status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda
ras, berbeda latar belakang budaya. Di keluarga juga seseorang
mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup ini atau
pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan hidup yang berhasil, dan
wawasan mengenai masa depan.
Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis pendidikan
karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di
Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya
pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai
kegagalan pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran
dalam keluarga. Orang tua yang membangun kehidupannya di atas tindakan
yang korup, akan sangat sulit menanamkan nilai kejujuran pada
anak-anaknya. Mereka mungkin tidak menyuruh anaknya agar menjadi orang
yang tidak jujur, namun mereka cenderung tidak akan melihat sikap dan
perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu nilai yang sangat
penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini mungkin bisa dijadikan
satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih generasi.
Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi
sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat besar dalam
pembangunan atau sebaliknya juga perusakan karakter masyarakat atau
bangsa adalah media massa, khususnya media elektronik, dengan pelaku
utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media, khususnya
media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah
dibuktikan secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung
Hattta, Ki Hajar Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan
karakter bangsa melalui tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung
Karno dan Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan, keberanian dan
persatuan melalui radio. Mereka, dalam keterbatasannya, memanfaatkan
secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada saat itu untuk membangun
karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri bangsa, keberanian,
kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya kecerdasan dan
kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan dalam
memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita
temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama
makin canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang
didukung teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak
karakter bangsa. Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di
Indonesia , khususnya televisi, sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam
pembangunan karakter bangsa. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan
bahwa tidak ada program televisi yang baik. Namun sebagian besar program
televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk daripada karakter
baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik justru dirusak
oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk
menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan
kekerasan. Di rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun
acara sinetron di tevisi Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di
rumah anak-anak dididik untuk hidup jujur, namun tayangan di televisi
Indonesia justru secara tidak langsung menunjukkan ’kepahlawanan’
tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap ’kaisar’ atau
’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa
membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun
acara televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan
ibu guru di sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun
suasana sekolah di sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang
justru tidak santun dan melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di
televisi Indonesia, justru ’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang
ditanamkan di di rumah oleh orang tua dan oleh para guru di sekolah.
Pendidikan formal.
Pendidikan formal, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan
berperan besar dalam pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan
formal diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian
pengalaman Indonesia selama empat dekade terakhir ini menunjukkan bahwa
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dengan cara-cara pendidikan yang
dilakukannya sekarang belum banyak berkontribusi dalam hal ini. Di atas
telah diuraikan, kecenderungan lembaga pendidikan formal yang merosot
hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah salah satu sumber
penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan
keterampilan dan pengalihan pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup
bahkan mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas
hanya pada pengalihan pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus
diakui bahwa pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian
terbesar waktunya untuk melakukan pelatihan daripada pendidikan.
Kegiatan pendidikan telah teredusir menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para
siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang perhatian pada perkembangan ’hati’
mereka. Keberhasilan seorang guru diukur dari kecepatannya ’mengisi’
otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk menghasilkan
orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek pendidikan sama
sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan juga
berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan
sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga
yang secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas,
institut teknologi, dan yang lainnya.
Di pihak lain, seorang pelatih yang bermutu dapat dengan cerdas memakai
kegiatan pelatihan menjadi kendaraan efektif untuk pendidikan. Pelatih
sepak bola dapat memakai kegiatan pelatihan untuk menumbuhkan dan
menguatkan sikap sportif, gigih, kerjasama tim, kesediaan berbagi,
berlapang dada dalam kekalahan, dan rendah hati dalam kemenangan.
Masalah kita sekarang, tanpa disadari sudah terjadi degradasi
proses-proses dan program-program yang dimaksudkan untuk pendidikan
menjadi proses dan program pelatihan. Di pihak lain belum nampak
tanda-tanda kegiatan pelatihan dimanfaatkan secara optimal sebagai
wahana untuk pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar